Ijtima’ Wadzifah Hailalah (IWH)
Ijtima Wadzifah Hailalah (IWH) adalah kegiatan berdzikir lailaha illallah secara berjama’ah. Ini adalah amalan lazim Tarekat Tijaniyah. IWH dilaksanakan setiap hari Jum’at Ba’da Ashar sampai Magrib. IWH telah dimulai sejak masa kepemimpinan KH. Ismail Badruzzaman sebagai konsolidasi kepemimpinan.
Ijtima Wadzifah Hailalah kali ini dilaksanakan pada hari Jum’at 06, Januari 2023 di Yayasan Pondok Pesantren Al-Huda Al-Musri’ dan diharadiri oleh muqodam dari berbagai daerah, dari Kabupaten Garut ada Asy-Syeikh Prof. DR. KH. Rd. Ikhyan Syibaweh BZ dan KH. Abuy Jamhur BZ, dari Cianjur ada Abah KH. Ujang Mahmud Munawar dan Habib Umar Atthoyyib cucunya Syaih Ali Atthoyyib, dari bandung ada KH. Maman Abdurrohman.
Sebenarnya, khususnya Jawa barat, sejarah penyebaran tijani mulai sejak kedatangannya Syaikh Ali Toyyib di Bogor pada tahun 1928 M. Dalam Kegiatan dakwahnya, beliau sengaja pergi meninggalkan Madinah menuju Nusantara khusus menyebarkan thoriqat Tijaniyah. Di Bogor, beliau mempunyai dua putra, Habib Ahmad dan Habib Muhammad. Dari Bogor, beliau berpindah-pindah ke daerah Sunda sebelah Timur, ke Cianjur. Beliau lama tinggal di Cianjur. Konon putra beliau, Habib Muhammad pun sempat menikahi seorang gadis Cianjur (Cibaregbeg). Malah, Putra beliau, Habib Ahmad, diceritakan, meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah tempat di Cianjur. Ini menunjukan bahwa Cianjur merupakan salah satu tempat sasaran dakwah Tijaniyah yang cukup lama dan utama oleh Syaikh Ali Thoyyib. Singkat cerita, dakwah beliau bergerak ke Timur, Cimahi, Bandung, Garut sampai Tasikmalaya (Kp. Madewangi), Ungkap KH. Burhan Rosyidi melaui pesan teks.
Pada saat itu penyelenggaraannya masih sangat terbatas yakni di tempat Tarekat Tijaniah generasi awal seperti Al-Falah Biru, Cimencek, Mulabaruk, Cisanca dengan kehadiran jamaah sekitar 1.000-2.000 orang.
Materi ceramah yang dikemukakan dalam ijtima tersebut belum meyentuh substansi ajaran tarekat tetapi masih membicarakan hal-hal umum seperti kaitan Tarekat Tijaniah dengan syari’at dan sekitar pembicaraan tentang berkah mengikuti ajaran wali dalam hal ini Tarekat Tijaniyah selebihnya materi-materi umum yang tidak bersentuhan langsung dengan Tarekat Tijaniyah.
Tidak heran pada waktu jamaah mempersepsi ajaran Tarekat Tijaniyah sebagai amalan littabaruk dan cenderung tidak mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan tarekat.
Sejarah
Tarekat Tijaniyah tersebar begitu cepat sejak masuknya pada awal 1920-an melalui Pondok Buntet Pesantren. KH Anas Abdul Jamil, adik KH Abbas Abdul Jamil, menjadi penyebar pertama tarekat yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani itu.
Kiai Anas mengangkat KH Hawi Buntet Pesantren menjadi muqaddam (mursyid). Sementara Kiai Hawi mengangkat KH Yusuf Muhammad dari Surabaya sebagai muqaddam. Dari sosok nama terakhir itulah, KH Badri Mashduqi mengambil sanad tarekat ini.
Kiai Badri lahir pada 1 Juni 1942 di Prenduan, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Ia merupakan putra tunggal pasangan Kiai Mashduqi dan Nyai Musyarrah. (Saifullah, KH Badri Mashduqi: Kiprah dan Keteladanan karya Saifullah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2008).
Ayahnya sejak sebelum menikah sudah terbilang majdzub. Sejak usia Kiai Badri tujuh bulan dalam kandungan, Kiai Mashduqi sudah ‘hilang’. Sampai masa putranya lahir dan berusia dua tahun, tak banyak orang mengetahui keberadaan Kiai Mashduqi.
Saat usia dua tahun itu, Kiai Mashduqi menemui putranya sembari memberi surban dan delima kering. Setelah itu, ia kembali menghilang. Ia diyakini menjadi salah seorang rijalul ghaib.
Pendidikan
Masa kecilnya dihabiskan dengan belajar kepada keluarganya, yakni ibunya, kakeknya (KH Miftahul Arifin), dan pamannya (Kiai Sufyan). Selain mengaji Al-Qur’an, ia juga mengaji kitab-kitab dasar. Di samping mengaji, Kiai Badri kecil juga belajar secara formal di Sekolah Rakyat (SR).
Mulai tahun 1950-an, Kiai Badri melanjutkan studinya di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, di bawah asuhan Kiai Hasan.
Setelah itu, Kiai Badri meneruskan ngajinya ke Pesantren Bata-bata, Pamekasan, Madura. Di sinilah, ia merampungkan hafalan kitab Alfiyah ibnu Malik, sebuah kitab dasar mengenai tata bahasa Arab. Bahkan, di pesantren ini konon ia belajar secara sirri kepada ayahandanya, Kiai Mashduqi.
Dirasa belum cukup, Kiai Badri belajar di Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1956-1959 dan di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Sebelum pindah ke pesantren terakhir itu, Kiai Badri menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Prenduan, Sumenep, Madura pada waktu liburan. Saat itu, Pendiri Pesantren Al-Amin KH Djauhari mengutus seorang santri seniornya untuk menguji kemampuan putra Kiai Mashduqi.
Dua kali diuji oleh santri senior itu, dua kali itu juga Kiai Badri dengan mudah menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya. Mendengar kemampuannya yang luar biasa itu, Kiai Djauhari justru khawatir Kiai Badri menjelma seperti sosok ayahnya yang menjadi rijalul ghaib.
Pewarta: Dimas Pamungkas
Sebenarnya, khususnya Jawa barat, sejarah penyebaran tijani mulai sejak kedatangannya Syaikh Ali Toyyib di Bogor pada tahun 1928 M. Dalam Kegiatan dakwahnya, beliau sengaja pergi meninggalkan Madinah menuju Nusantara khusus menyebarkan thoriqat Tijaniyah. Di Bogor, beliau mempunyai dua putra, Habib Ahmad dan Habib Muhammad. Dari Bogor, beliau berpindah-pindah ke daerah Sunda sebelah Timur, ke Cianjur. Beliau lama tinggal di Cianjur. Konon putra beliau, Habib Muhammad pun sempat menikahi seorang gadis Cianjur (Cibaregbeg). Malah, Putra beliau, Habib Ahmad, diceritakan, meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah tempat di Cianjur. Ini menunjukan bahwa Cianjur merupakan salah satu tempat sasaran dakwah Tijaniyah yang cukup lama dan utama oleh Syaikh Ali Thoyyib.
Singkat cerita, dakwah beliau bergerak ke Timur, Cimahi, Bandung, Garut sampai Tasikmalaya (Kp. Madewangi).